greenboy_sagitarius

welcome

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industrys standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Tari Gandrung Banyuwangi



Gandrung Banyuwangi berasal dari kata "gandrung", yang berarti 'tergila-gila' atau 'cinta habis-habisan' dalam bahasa Jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Makanan Khas Banyuwangi Mulai dilirik Warga Asing







BANYUWANGI juga terkenal memiliki berbagai jenis makanan unik. Sayang, makanan khas Kota Gandrung ini mulai punah akibat ditinggalkan warga. Munculnya makanan modern turut membuat warga enggan melirik makanan tradisionalnya. Rumah makan yang menjayikan menu peninggalan komunitas suku Using kuno itu pun jarang ditemukan.



Konon, beragamnya makanan tradisional ini ada sejak zaman keemasan Kerajaan Blambangan abad ke-14. Seluruhnya terbuat dari tumbuhan dan palawija yang tumbuh subur kala itu. Tampaknya, kaum tua yang menjadi cikal bakal munculnya makanan tradisional itu kurang memikirkan proses pelestariannya. Sebaliknya, generasi muda justru tak peduli terhadap kekayaan budaya lokal tersebut. “Ini menjadi tantangan kita. Jangan sampai budaya makanan tradisional hilang,” kata Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Banyuwangi Ari Pintarti.

Padahal, makanan tradisional itu mulai dilirik warga asing. Beberapa orang asing tertarik mempelajarinya. Banyak tamu asing meminta resep dan mempraktikkannya. Tidak tertutup kemungkinan berbagai makanan khas itu nantinya diklaim milik luar negeri.
Keunikan makanan khas suku Using terletak pada rasa. Zaman penjajahan dulu makanan ini disukai orang Belanda. Rasanya cenderung pedas dan diolah dari bahan sayuran.

Banyak ragamnya, mulai jajanan hingga makanan sehari-hari. Ada sayuran dan berbagai daging olahan. Ada nasi yang dibuat lewat proses dibakar. “Kami sedang menginventarisasikan berbagai makanan tradisional ini, termasuk daerah asalnya,” ujar Ari Pintarti. Untuk itu Pemkab Banyuwangi menggandeng para pemerhati budaya.

Keanekaragaman makanan khas ini berhubungan dengan banyaknya upacara ritual di Banyuwangi. Biasanya, upacara ritual memiliki makanan khas tersendiri. Dari sekian makanan khas yang ada, pecel ayam yang paling dikenal. Dipercayai, makanan terbuat dari ayam kampung bakar ini adalah persembahan favorit leluhur suku Using. Bahan dasarnya ayam kampung yang masih muda yang dibakar dengan kayu. Penyajiannya dicampur urap kelapa muda.

Bumbunya kacang tanah yang disangrai. Pecel ayam ini sudah dilestarikan dengan baik. Namun, warga tidak banyak yang memasaknya dalam kesehariannya. Dipercayai, makanan ini tergolong sakral. Hanya dalam ritual adat tertentu, makanan ini dibuat secara missal, sebagaimana yang dilakukan warga suku Using di Desa Kemiren saat berlangsung upacara adat.

Pemkab Banyuwangi juga berencana mematenkan berbagai makanan khas tersebut. Tujuannya menghindari klaim dari negara asing. Seperti yang dialami Tari Gandrung. Tarian khas ini kabarnya mulai diklaim Thailand sebagai tari khasnya.

Guna menghindari kepunahan para budayawan sering menggelar lomba makanan khas. Para pengelola restoran diharapkan bisa menyajikan makana khas yang menarik wisatawan asing. “Promosi juga terus gencar kami lakukan,” tutur Ari Pintarti. – udi

Sekilas tentang UB Malang



Sejarah

Kantor Pusat Universitas Brawijaya (1963 - 1974)
Kantor Pusat Universitas Brawijaya (1974 - 1982)

Nama Universitas Brawijaya diberikan oleh Presiden Republik Indonesia melalui kawat nomor 258/K/61 tanggal 11 Juli 1961. Nama ini berasal dari gelar Raja-Raja Majapahit yang merupakan kerajaan besar di Indonesia pada abad 12 sampai 15. Universitas Brawijaya dinegerikan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 196 tahun 1963 dan berlaku sejak 5 Januari 1963. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir (Dies Natalis) Universitas Brawijaya. Perjalanan Universitas Brawijaya sebelum dinegerikan diawali pada tahun 1957 di Malang berdiri cabang Universitas Sawerigading Makassar yang hanya terdiri dari dua fakultas yaitu Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1960 diganti namanya menjadi Universitas Kotapraja Malang. Dibawah naungan Universitas tersebut beberapa bulan berikutnya terdapat tambahan dua fakultas yaitu Fakultas Administrasi Niaga (FAN) dan Fakultas Pertanian (FP). Universitas Kotapraja Malang inilah yang kemudian diganti namanya menjadi Universitas Brawijaya.

Pada saat dinegerikan, Universitas Brawijaya hanya mempunyai 5 fakultas yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ketatanegraan dan Ketataniagaan (FKK merupakan perluasan dari FAN dan saat ini namanya adalah Fakultas Ilmu Administrasi - FIA), Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP). FKHP kemudian dipecah menjadi dua fakultas pada tahun 1973, yaitu Fakultas Peternakan (FPt) yang berada di Universitas Brawijaya dan Fakultas Kedokteran Hewan yang berada dibawah naungan Universitas Airlangga. Fakultas Teknik (FT) berdiri tahun 1963 berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP nomor 167 tahun 1963 tertanggal 23 Oktober 1963.

Berdasarkan SK Presiden Nomor 59 tahun 1982 tanggal 7 September 1982 tentang struktur organisasi Universitas Brawijaya, Fakultas Perikanan (FPi) menjadi fakultas tersendiri karena sejak tahun 1977 digabung menjadi satu dengan Fakultas Peternakan dengan nama Fakultas Peternakan dan Perikanan. Sebagai catatan bahwa Fakultas Perikanan telah berdiri sejak tahun 1963 di Probolinggo yang merupakan Jurusan dari FKHP Universitas Brawijaya. Fakultas Kedokteran (FK) secara resmi berada di bawah Universitas Brawijaya sejak tahun 1974 setelah sejak berdirinya tahun 1963 dibawah Yayasan Perguruan Tinggi Jawa Timur. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0371/O/1993 tanggal 21 Oktober 1993. Universitas Brawijaya menambah satu lagi fakultas yaitu Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) yang merupakan peningkatan satus dari Jurusan Teknologi Pertanian yang sebelumnya berada di Fakultas Pertanian.

Perubahan Singkatan Unibraw menjadi UB

Melalui suratnya yang bernomor 09343/J10/LL/2008, tanggal 24 Maret 2008, Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito menyatakan bahwa memperhatikan saran dari pihak sivitas akademika dan masyarakat serta memahami semakin banyaknya penggunaan singkatan UB oleh kedua pihak tersebut,maka Senat Universitas Brawijaya mulai tanggal 17 Maret 2008 telah menetapkan singkatan UNIBRAW menjadi UB. Penggunaan singkatan tersebut baik untuk penggunaan dalam Bahasa Indonesia maupaun Bahasa Inggris. Keputusan Senat Universitas Brawijaya tersebut secara resmi menetapkan Singkatan Unibraw menjadi UB.