greenboy_sagitarius

welcome

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industrys standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Makanan Khas Banyuwangi Mulai dilirik Warga Asing







BANYUWANGI juga terkenal memiliki berbagai jenis makanan unik. Sayang, makanan khas Kota Gandrung ini mulai punah akibat ditinggalkan warga. Munculnya makanan modern turut membuat warga enggan melirik makanan tradisionalnya. Rumah makan yang menjayikan menu peninggalan komunitas suku Using kuno itu pun jarang ditemukan.



Konon, beragamnya makanan tradisional ini ada sejak zaman keemasan Kerajaan Blambangan abad ke-14. Seluruhnya terbuat dari tumbuhan dan palawija yang tumbuh subur kala itu. Tampaknya, kaum tua yang menjadi cikal bakal munculnya makanan tradisional itu kurang memikirkan proses pelestariannya. Sebaliknya, generasi muda justru tak peduli terhadap kekayaan budaya lokal tersebut. “Ini menjadi tantangan kita. Jangan sampai budaya makanan tradisional hilang,” kata Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Banyuwangi Ari Pintarti.

Padahal, makanan tradisional itu mulai dilirik warga asing. Beberapa orang asing tertarik mempelajarinya. Banyak tamu asing meminta resep dan mempraktikkannya. Tidak tertutup kemungkinan berbagai makanan khas itu nantinya diklaim milik luar negeri.
Keunikan makanan khas suku Using terletak pada rasa. Zaman penjajahan dulu makanan ini disukai orang Belanda. Rasanya cenderung pedas dan diolah dari bahan sayuran.

Banyak ragamnya, mulai jajanan hingga makanan sehari-hari. Ada sayuran dan berbagai daging olahan. Ada nasi yang dibuat lewat proses dibakar. “Kami sedang menginventarisasikan berbagai makanan tradisional ini, termasuk daerah asalnya,” ujar Ari Pintarti. Untuk itu Pemkab Banyuwangi menggandeng para pemerhati budaya.

Keanekaragaman makanan khas ini berhubungan dengan banyaknya upacara ritual di Banyuwangi. Biasanya, upacara ritual memiliki makanan khas tersendiri. Dari sekian makanan khas yang ada, pecel ayam yang paling dikenal. Dipercayai, makanan terbuat dari ayam kampung bakar ini adalah persembahan favorit leluhur suku Using. Bahan dasarnya ayam kampung yang masih muda yang dibakar dengan kayu. Penyajiannya dicampur urap kelapa muda.

Bumbunya kacang tanah yang disangrai. Pecel ayam ini sudah dilestarikan dengan baik. Namun, warga tidak banyak yang memasaknya dalam kesehariannya. Dipercayai, makanan ini tergolong sakral. Hanya dalam ritual adat tertentu, makanan ini dibuat secara missal, sebagaimana yang dilakukan warga suku Using di Desa Kemiren saat berlangsung upacara adat.

Pemkab Banyuwangi juga berencana mematenkan berbagai makanan khas tersebut. Tujuannya menghindari klaim dari negara asing. Seperti yang dialami Tari Gandrung. Tarian khas ini kabarnya mulai diklaim Thailand sebagai tari khasnya.

Guna menghindari kepunahan para budayawan sering menggelar lomba makanan khas. Para pengelola restoran diharapkan bisa menyajikan makana khas yang menarik wisatawan asing. “Promosi juga terus gencar kami lakukan,” tutur Ari Pintarti. – udi

0 komentar:

Posting Komentar